Oleh: Ahmad Muntaha AM
Di sebagian daerah menjelang perayaan natal, kaum muslimin pun banyak yang menggunakan momentum ini untuk mengais rejeki dengan berjualan berbagai barang untuk kepentingan perayaan tersebut. Dari makanan, minuman, pakaian, dan selainnya. Lalu bagaimana hukumnya dalam perspektif fikih? Adakah pendapat fikih Ahlussunah wal Jamaah yang dapat mengakomodirnya?
Dalam hal ini, pakar fikih mazhab Maliki, Muhammad bin Yusuf al ‘Abdari (w. 897 H) atau yang terkenal dengan nama Abu Abdillah Al Mawaq dalam at Taj al Iklil li Mukhtashar Khalil (V/418) mencatat:
وروى ابن القاسم أن مالكا سئل عن أعياد الكنائس فيجتمع المسلمون يحملون إليها الثياب والأمتعة وغير ذلك يبيعون يبتغون الفضل فيها، قال: لا بأس.
“Ibn al Qasim meriwayatkan, bahwa Imam Malik pernah ditanya tentang berbagai hari raya di gereja, kemudian orang-orang Islam membawa pakaian, bermacam-macam barang dan dagangan lainnya ke gereja untuk berjualan dan mengais keuntungan (membuka bazar) di sana. Imam Malik berkata: “Itu tidak apa-apa.”
Tidakkah itu termasuk maksiat dan menolong kemaksiatan?
Al Mawaq menegaskan, bahwa hal itu diperbolehkan, makruh pun tidak, karena berdasarkan prinsip bahwa manusia tidak bisa dianggap bermaksiat kecuali setelah beriman:
ولا يكره ذلك على القول بأنه ليس بعاص في ذلك إلا بعد الإيمان.
“Berjualan di gereja untuk kepentingan hari raya tidak dimakruhkan, berdasarkan pendapat yang menyatakan bahwa orang tidak bisa disebut sebagai pelaku maksiat dalam perayaan di gereja kecuali setelah keimanannya.”
Berdasarkan prinsip ini pula, dalam riwayat Abdul Malik bin Al Hasan (w. 232 H) yang terkenal dengan sebutan Zunan, Ibn Wahb (w. 197 H) sebagai murid langsung Imam Malik memperbolehkan seorang muslim pergi mengantar ibunya yang Nasrani ke gereja. Al Mawaq melanjutkan:
وعلى هذا أجاز في سماع زونان أن يسير بأمه إلى الكنيسة.
“Berdasarkan pendapat bahwa orang tidak bisa dianggap bermaksiat kecuali setelah beriman ini, dalam riwayat Zunan, Ibn Wahb membolehkan orang pergi mengantarkan ibunya yang kebetulan beragama Nasrani ke gereja.”
Artinya, ibadah ibunya yang Nasrani itu tidak bisa dianggap sebagai maksiat karena belum beriman. Karena itu, anaknya tidak bisa dianggap menolong kemaksiatan ibunya.
Sekarang menjadi jelas, bahwa hukum seorang muslim berjualan makanan, minuman dan semisalnya untuk keperluan hari raya umat lain adalah diperbolehkan, dengan merujuk beberapa riwayat dalam fikih Maliki di atas.
Sumber:
1. Muhammad bin Yusuf Al ‘Abdari, at Taj al Iklil li Mukhtashar Khalil, (Bairut: Dar Al Fikr, 1398 H), V/418-419.
2. Ibn Rusyd al Qurtubi, al Bayan wa at Tahshil, (Bairut: Dar al Gharb al Islami, 1408 H/1988 M), XVI/441.
sumber :
https://aswajamuda.com/hukum-buka-bazar-untuk-natalan-di-gereja/
0 Komentar